Tantangan dan Permasalahan Kepustakawanan Indonesia15 Pokok Perhatian yang Perlu Segera Mendapat Perhatian Bersama

rak-perpustakaanBuku adalah soko guru peradaban berbasis informasi dan pengetahuan. Perpustakaan memungkinkan peradaban itu tetap berlangsung, baik dengan mempertahankan peran buku, maupun dengan memanfaatkan teknologi informasi terbaru. Pengelola institusi ini disebut pustakawan, dan keseluruhan kegiatan pengelolaan itu disebut kepustakawanan. Secara sempit kepustakawanan sering hanya dihubungkan dengan kegiatan teknis yang dilakukan pustakawan. Ini adalah pandangan yang salah.

Kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Profesi ini memegang teguh nilai-nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Pustakawan bekerja berdasarkan etos kemanusiaan sebagai lawan dari kegiatan pertukangan semata. Pustakawan adalah fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi. Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence. Tanpa kepustakawanan, sebuah bangsa kehilangan potensi untuk secara bersama-sama menjadi cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tak ingin terpuruk dan tercekik krisis yang seakan tak ada hentinya. Indonesia memerlukan Kepustakawanan agar dapat bersama-sama menjadi cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat. Untuk membangun Kepustakawanan Indonesia diperlukan kesungguhan menghadapi 15 pokok perhatian yang terkelompok menjadi empat isyu besar, yaitu:

  • Profesionalisme pustakawan.
  • Akuntabilitas dan kredibilitas.
  • Pendanaan dan standardisasi.
  • Landasan ilmu dan pemanfaatan teknologi informasi.

PROFESIONALISME

Undang-Undang Perpustakaan menyatakan bahwa institusi perpustakaan dipimpin oleh seorang ahli yang berlatarbelakang pendidikan ilmu perpustakaan. Ketentuan ini harus ditegakkan dengan memastikan bahwa Kepala Perpustakaan di semua jenis perpustakaan memang dijabat oleh orang yang tepat dan cocok. Tantangan dan persoalannya:

  1. Di jajaran seluruh jajaran pemerintahan terjadi pola penempatan Kepala Perpustakaan secara serampangan tanpa memedulikan asas ketepatan dan kecocokan. Pola ini meluas di seluruh Indonesia dan seringkali dilakukan secara sengaja.
  2. Di kalangan swasta terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman tentang fungsi Kepala Perpustakaan. Banyak Kepala Perpustakaan yang tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara profesional dan tidak diapresiasi secara wajar.
  3. Di sekolah-sekolah belum terdapat kejelasan tentang fungsi dan tugas ‘guru-pustakawan’ atau ‘pustakawan- guru’. Perpustakaan di sekolah-sekolah sering dijalankan tanpa manajemen yang memadai antara lain karena dipimpin oleh orang yang tidak mampu, tidak tepat, dan tidak cocok sebagai Kepala Perpustakaan.

Ketiga persoalan nyata di lapangan tersebut ditengarai sebagai wujud dari persoalan yang lebih mendasar yaitu kekurangtahuan dan ketidakpedulian tentang profesi pustakawan. Kedua hal negatif ini harus dihilangkan. Tanpa apresiasi yang benar dan memadai tentang pustakawan maka perpustakaan- perpustakaan di Indonesia akan berjalan secara serampangan, sporadis, dan tumpang-tindih; mengurangi potensi institusi ini yang secara

bersama-sama dapat bertindak sebagai pondasi bagi bangsa yang maju dan berkepribadian di bidang pengetahuan dan informasi.

AKUNTABILITAS DAN KREDIBILITAS

Mengingat hakikat dasar perpustakaan sebagai institusi yang berupaya membuka akses pengetahuan dan informasi seluas-luasnya bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat di Indonesia, maka adalah wajar bahwa perpustakaan- perpustakaan yang terbuka untuk umum harus semakin banyak tersedia di Indonesia. Sesuai yang diamanatkan Undang-Undang, untuk mewujudkan keberadaan perpustakaan- perpustakaan seperti itu diperlukan dukungan penuh dari Pemerintah, selain juga partisipasi dari masyarakat yang seluas mungkin. Tantangan dan persoalannya:

  1. Selama berpuluh-puluh tahun, tidak ada koordinasi dan visi-misi yang jelas dalam pelaksanaan perpustakaan di Indonesia. Potensi kepustakawanan Indonesia musnah oleh diskoordinasi, proyek-proyek pemerintah yang sporadis, perencanaan yang amburadul, dan ketiadaan kepemimpinan (leaderships). Keadaan ini bertambah parah ketika tidak ada kejelasan tentang fungsi-fungsi institusi informasi seperti arsip, perpustakaan dan dokumentasi.
  2. Hal serupa terjadi pada upaya masyarakat umum untuk membantu pengembangan kepustakawanan. Banyak niat-baik anggota masyarakat untuk ikut membangun kepustakawanan terhambat, baik oleh ketidaktahuan maupun oleh kesalahpahaman. Lebih menguatirkan lagi, banyak niat-baik ini akhirnya tak mencapai tujuannya karena disalahgunakan untuk kepentingan popularitas sesaat, atau untuk menghabiskan dana pemerintah yang tidak diawasi oleh sebab-sebab yang sudah diurai di butir 4 di atas.
  3. Diskoordinasi yang sudah amat parah dan ketiadaan fokus menyebabkan kepustakawanan di Indonesia kehilangan kredibilitas. Perpustakaan sering hanya dianggap gedung atau ruangan seadanya, dan dikelola secara amatiran tanpa kesinambungan. Akibatnya, perpustakaan- perpustakaan Indonesia tak dekat dengan masyarakatnya dan diabaikan pula.
  4. Sudah terlalu banyak ‘gerakan’ yang dilakukan untuk mempromosikan kepustakawanan, namun semua gerakan ini tidak tepat sasaran oleh sebab-sebab yang sudah diuraikan di atas atau dikooptasi untuk kepentingan pribadi. Ini menambah buruk citra dan menurunkan kredibilitas kepustakawanan Indonesia di mata masyarakatnya.

PENDANAAN DAN STANDARDISASI

Sesungguhnya, berkat tekad yang bulat untuk memajukan pendidikan, bangsa Indonesia telah berkehendak menyediakan dana untuk keperluan pendidikan. Sudah sewajarnya kehendak ini juga tersalurkan dan terwujudkan dalam bentuk pengembangan perpustakaan, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, namun juga di masyarakat luas dalam bentuk perpustakaan untuk umum yang menunjang pendidikan seumur hidup. Tantangan dan persoalannya:

  1. Oleh sebab-sebab yang sudah diuraikan di butir 4 sampai 7, telah terjadi dua hal yang amat merugikan bangsa Indonesia. Pertama, perpustakaan tak mendapat dana yang memadai oleh anggapan keliru bahwa institusi ini bukan termasuk pilar pendidikan. Kedua, dana yang ada pun tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya sebab memang tidak dikelola dengan profesional dan akuntabel. Kedua hal ini harus dihentikan, khususnya ketika bangsa ini sudah bertekad menyediakan 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan. Perlu ditegaskan secara lebih tersurat alokasi yang cukup dari anggaran pembangunan pendidikan.
  2. Sebagai kegiatan yang bersifat nasional dan meluas, kepustakawanan sesungguhnya memerlukan standar yang jelas dan terukur. Indonesia ketinggalan amat jauh dibandingkan negara-negara lain. Banyak sekali–kalau tidak dapat dikatakan hampir semua- kegiatan perpustakaan, baik yang dilakukan pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum dan perorangan, diselenggarakan tanpa standar. Kalaupun ada standar, pada umumnya standar itu dibuat untuk keperluan birokrasi dan administrasi yang kurang memperhatikan hakikat perpustakaan sebagai institusi sosial-budaya masyarakatnya.
  3. Pengawasan mutu dan pembelajaan dana di bidang perpustakaan sangat kurang, kalau tak dapat dikatakan tiada sama sekali. Celah penyalahgunaan dana amatlah besar, baik oleh kesengajaan maupun oleh mismanagement. Secara lebih spesifik, tak ada mekanisme dan prosedur untuk mengaitkan dana perpustakaan dan mutu yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Dibandingkan negara-negara lain, kepustakawanan Indonesia amat tertinggal dalam hal penjaminan mutu.

LANDASAN ILMU DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

Indonesia boleh bangga sebab pendidikan bagi profesi pustakawan sudah hadir sejak 1954, pada masa awal kemerdekaan. Kenyataan historis ini menunjukkan penghargaan bangsa pada pentingnya profesi pustakawan untuk kemajuan pengetahuan. Sekarang, tak kurang dari 13 perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan di bidang perpustakaan baik di tingkat diploma, sarjana, maupun magister. Namun aset yang amat besar ini terancam tak terwujud menjadi modal karena persoalan-persoalan berikut:

  1. Para penyelenggara pendidikan kehilangan orientasi ilmu dan terpaku pada pengajaran hal-hal teknis. Ini ikut menyumbang pada kesalahpahaman di masyarakat tentang profesi pustakawan dan menjadi salah satu penyebab utama mengapa citra pustakawan di Indonesia sangat dilecehkan sebagai ‘tukang’ semata. Dibandingkan negara-negara lain, pendidikan Indonesia sangat kurang menghargai filsafat, ilmu, dan metodologi perpustakaan yang sudah teruji. Para penyelenggara dan pengajar jurusan ilmu perpustakaan terlalu berorientasi teknis.
  2. Salah satu sebab dari orientasi yang terlalu teknis itu adalah ketiadaan pengakuan terhadap keabsahan Ilmu Perpustakaan yang saat ini di dunia bahkan sudah berkembang menjadi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Di kalangan akademisi maupun penyelenggara perguruan tinggi dan penyelenggara pemerintahan di bidang ini, pemahaman dan apresiasi tentang Ilmu Perpustakaan dan Informasi amat kurang. Selalu ada hambatan untuk mengembangkan ilmu ini, antara lain karena semua pihak menganggapnya ‘bukan ilmu’.
  3. Penguasaan Ilmu Perpustakaan dan Informasi -sebagai lawan dari penguasaan keahlian teknis semata- diyakini dapat menjamin implementasi teknologi yang baik, benar, dan tepat guna guna membangun masyarakat informasi dan masyarakat berbasis pengetahuan. Pelecehan terhadap Ilmu Perpustakaan dan Informasi, baik oleh akademisi, penyelenggara pendidikan, maupun pemerintah, menyebabkan ketertinggalan kita dalam memanfaatkan teknologi informasi di bidang perpustakaan.
  4. Penguasaan Ilmu Perpustakaan dan Informasi diyakini dapat pula menjadi penyeimbang bagi dominasi penggunaan teknologi informasi sebagai alat industri dan bisnis belaka. Melalui pemahaman tentang filsafat, ilmu, dan metodologi yang benar, maka profesi pustakawan dapat menjadi fasilitator bagi pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan Indonesia yang cerdas, berpengetahuan, dan bermartabat. Pelecehan terhadap Ilmu Perpustakaan dan Informasi menyebabkan pustakawan kurang berperan dalam hal ini dan akhirnya semata-mata menjadi konsumen dari alat-alat teknologi. Pada gilirannya, pustakawan juga tak dapat membantu masyarakat memanfaatkan teknologi informasi bagi kepentingan mereka.
  5. Untuk mewujudkan potensi pendidikan yang menghasilkan profesionalisme di bidang perpustakaan amatlah penting menyelaraskan kurikulum semua penyelenggara pendidikan di bidang ini. Bersamaan dengan itu, penyelenggara pendidikan juga harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan sesungguhnya dengan masyarakat Indonesia, termasuk dalam menyediakan kekhususan ilmu untuk profesi-profesi spesifik.

link:http://www.keperawatan-undip.ac.id/images/100-0012_IMG.JPG

Tulisan Di atas di ambil dari Milis Pustakawan

Tinggalkan komentar